Wednesday, April 18, 2007

Rekaman masa kecil


Depok, rentang waktu 1983-1989
Di sebuah ruang bumi bernamakan Perumnas


Dulu, saya pernah tinggal di sebuah rumah dengan besar yang ala kadarnya.
Berdempetan-dempetan dengan tetangga sebelah.
Berhadapan-hadapan dan berjarak lebih kurang 5 m dengan tetangga depan rumah, yang diseparasi oleh sebuah jalan kecil (gang).
Agak sesak memang tapi nyaman ada di dalamnya.

Saya mempunyai banyak tetangga yang datang dari beraneka rupa kultur.
Rumah di sisi kiri rumah saya dihuni oleh keluarga asli Sunda.
Setiap mau ulangan Bahasa Sunda, saya pasti main ke rumahnya untuk minta diajari.
Bantuan yang melegakan karena membuat tidak ada tinta merah di rapor saya.

Kalau rumah di sebelah kanan saya didiami oleh keluarga peranakan Betawi.
Si Ibu, jagoan membuat kue-kue kering. Rasanya enak dan asli (mungkin karena ngga pakai banyak bahan pengawaet).
Dulu, begitu terdengar deru mixernya,saya pasti langsung cepat-cepat ke rumahnya untuk menjilati adonan kuenya. Haha, bahkan baru adonannya saja sudah enak!!
Dan begitu aroma kue matang sudah menguar sampai ke hidung saya, lagi-lagi saya harus berlekas ke rumahnya untuk menjadi pencicip pertama.
Rasanya??? TAK PERNAH BERUBAH, SELALU ENAK!!

Sedang rumah di depan rumah saya ditinggali oleh keluarga berdarah Padang,
Dari semuanya, saya paling sering main ke rumahnya. Soalnya disana ada ’benda ajaib’. Sebuah rautan pensil dengan tuas yang bisa diputar. Ajaib. Karena dalam sekejab bisa membuat pensil tumpul berubah kembali runcing. Udah gitu, sampah rautannya bisa langsung mengumpul masuk ke kotak di bawahnya. Ga perlu diberes-beresin lagi. Tinggal tuang ke tempat sampah dan BERES!!
Gara-gara keluarga ini juga, saat bulan puasa saya ikutan bangun pagi untuk ikutan sahur sama mereka. Padahal saya khan tidak berpuasa.
Habis gimana donk? Membaui aroma nasi putih panas lagi pulen dan bau ayam goreng serta kuah santan khas masakan Padang, mau tak mau mata segera mengerjap dan terbuka lebar untuk membuktikan apakah baunya seenak rasanya...

Saat itu, saya punya banyak karib yang menceriakan.
Bareng-bareng, kami melakukan banyak [per] mainan yang menyenangkan.
Beberapa diantaranya masih terekam dengan manis di benak saya:

Padangan
Di dekat gang rumah kami ada sebuah SD dengan lapangan upacara yang cukup besar.
Teduh juga karena dirindangi oleh banyak pohon. Sebuah pelataran yang sempurna untuk ”padangan”.
Begitu ada yang melontarkan kata ”Padangan yuk!”, maka setiap dari kami akan segera ke rumah masing-masing. Ambil piring. Taruh nasi,lauk pauk dan sayur mayur diatasnya. Bersama-sama kami berangkat ke SD tersebut. Duduk berdekatan di lapangan tersebut. Makan bareng yang selalu diselingi dengan obrol-obrol dan candaan. Tak lupa saling icip.
Seru dan riang!!!

Lihat bintang.
Saya sebenarnya menyesal karena aktivitas mengasyikkan ini hanya dilakukan 1-2 kali.
Waktu itu, karena esok harinya adalah hari libur maka sesudah makan sore kami berlanjut main sepeda. Putar-putar keliling perumnas hingga senja.
Didera letih, kami istirahat di sebuah lapangan volley. Duduk sambil tidur-tiduran kami menikmati kerlip bintang.
Kadang-kadang, sambil bicara ringan.
Kadang-kadang cuma diam saja, tengadah menatap terang bintang yang mencerahkan gelapnya langit.
Wonderful serenity....

Spor
Haha, istilah ini dipakai karena waktu itu kami masih kecil dan belum tahu banyak kata-kata berbahasa Inggris yang tepat dan benar.
Spor berarti jogging bareng-bareng, mulai dari subuh hingga pagi.
Aturannya, yang bangun duluan wajib ’nyamper’ dengan cara meneriakkan nama temannya di muka pintu rumah supaya teman tersebut segera bangun dan ikutan jogging bareng.
Lari-lari kecil sambil (teteup) bercanda, sesekali berhenti sejenak untuk melihat proses pembuatan cincau hijau, akhirnya beranjak pulang sambil sebelumnya menyantap nasi uduk atau bubur sebagai sarapan.
Kami jadi sehat dan bertambah akrab.

Markas
Saya sempat punya markas untuk kami ngumpul bareng.
Tempatnya di halaman kosong milik tetangga sebalah.
Dibuat dari kayu dam bambu sisaan dari rumah tetangga yang baru selesai dibangun.
Alasnya dari tikar milik teman.
Markasnya sendiri terdiri atas 2 petak. Markas anak cowok dan cewek yang sebelah menyebelah.
Supaya tak saling dengar, markas kami disekat oleh selembar kain seprai usang (ga tau deh siapa yang telah SUkagasuKAharusRELA menyerahkan seprainya).
Actually, ga ngaruh juga siy disekat, lha wong jaraknya dekat banget – nempel malah, maka setiap suara pasti terdengar. Kita-kita aja, yang sok privasi gituh.
Dengan diterangi sinar petromaks, ekspresi dari setiap kami saat berceritera akan terlihat oleh teman-teman yang lain.
Paling yahud saat kami harus masak bareng di markas.
Masaknya pake batu bata dengan ranting-ranting kecil yang disulut api
Masakannya? Hallah, paling cuma indomie doang. Paling keren telur ceplok.
Tapi DAHSYAT rasanya saat harus merepotkan diri bareng-bareng, bawa-bawa perkakas dari rumah. Goreng dan merebus bareng-bareng. Dimakan pun bareng-bareng.
Aaahhh...saya mendamba masa-masa itu lagi...
Masih mengenangnya dengan manis ;)

Depok, di rentang waktu 1990 – sekarang
Bukan lagi di perumnas, tapi di sebuah komplek perumahan.
Keakrabannya tak lagi seperti dulu
.

2 comments:

nuuii said...

Wes miss depok nih...
Masa kecil ku juga indah lhoo tapi di jakarta pusat ;D
komen apa informasi ya..
pokoknya tetap keren san ;D

noname said...

What an inspiring story!!!

membuatkuw ingin menyatukan "kepingan-puzzle" kisah masa kecilkuw dulu.

hahahaha, 1 hal yang bikin gw amazed adalah: loe inget setiap detil masa kecil loe yang notabene belom nyampe usia belasan. start from time frame, the people around ampe suara mixer dan adonan.

haahahahah, keren Shan!!!